Tahun 2014, adalah awal perkenalan kami—bukan karena cinta pandangan pertama, tapi karena satu kelas yang membuat kami sering bersua.
Kami tidak saling menyukai, malah lebih sering berdebat dari pada berbicara manis. Sampai suatu hari, seorang teman berseloroh,
“Awas, nanti malah jadi demen.”
Waktu pun bergulir. Setelah lulus dan menjalani hidup masing-masing, tiba-tiba pada tahun 2018, muncul satu pesan singkat:
“Dol…”
Hanya untuk memastikan apakah nomor ini masih aktif. Tapi dari situ, komunikasi kami kembali terjalin.
Kami saling meminta maaf untuk masa lalu yang penuh adu argumen, dan mulai berbagi cerita. Karena satu jurusan, seringkali aku mengeluh soal tugas,
dan dia tak pernah lelah memberi masukan. Kadang kami menelpon hingga larut malam, hanya untuk menumpahkan penat—meski jarang, hanya sesekali dalam setahun.
Lalu tahun 2022, aku kembali menghubunginya. Bukan basa-basi, tapi meminta bantuan untuk projek skripsi.
Tanpa ragu, dia mengiyakan.
Dari situ, kami jadi sering chatting.
Dari yang awalnya
“Yan, progresnya udah sampai mana?”
Lama-lama menjadi
“Yang, kamu udah sampai mana?”
Dan begitulah…
Cinta yang dulu diprediksi dengan candaan,
tumbuh perlahan lewat perhatian dan kesederhanaan.